07.12
Bayangkan
engkau sedang lapar berat, di luar hujan lebat, warung-warung tutup dan
engkau hanya sendirian di rumah. Setelah seluruh bagian rumah engkau
teliti dan tak satu pun kau temukan sesuatu yang bisa dijadikan sayur
atau lauk pelengkap nasi, tanpa sengaja, engkau akhirnya berhasil
menemukan sesuatu yang bisa dijadikan lauk. Engkau tentu senang bukan
kepalang. Namun, sayangnya, ini belum matang, engkau harus mengolahnya
terlebih dahulu sebelum bisa memakannya. Sayangnya lagi, engkau tidak
tahu bagaimana harus memasaknya agar bahan itu bisa enak dimakan.
Padahal, engkau sering melihat ibu atau kakakmu memasaknya, hanya saja,
engkau tidak pernah memerhatikan cara mereka memasaknya. Yang engkau
tahu adalah bahwa makanan ini harus digoreng!
Maka, malam itu
engkau menggorengnya dengan “caramu” sendiri. Engkau menyiapkan wajan,
menuangkan minyak dan menyalakan kompor. Engkau langsung memasukkan
bahan itu begitu kompor menyala, lalu karena menunggu beberapa lama
tidak terlihat tanda-tanda matang, engkau meninggalkannya sebentar untuk
pergi ke kamar mandi. Rasanya baru sebentar saja ditinggal, tapi
ternyata setelah kembali, engkau dapati gorengan itu sudah gosong!
Engkau segera mengangkatnya, dan malam itu terpaksa engkau makan dengan
lauk GOSONG!
***
Saudara-saudariku, kisah di atas
hanya sebuah ilustrasi yang berujung pada sebuah simpulan bahwa
pengetahuan-pengetahuan kita terhadap sesuatu, sesederhana apa pun ia,
kadang menjadi penting, terutama dalam kondisi-kondisi khusus. Bahkan
jika sesuatu itu sering kita lihat, temui dan rasakan sebagaimana contoh
di atas. Cara menggoreng, sejatinya adalah pengetahuan yang sederhana,
tunggu minyak panas, barulah masukkan bahannya. Jangan lupa
dibolak-balik agar rata matangnya, misalnya. Itu adalah ilmu menggoreng.
Sederhana saja. Tapi bagi yang tidak tahu, menggoreng adalah hal yang
sulit. Bahkan mungkin ada yang urung karena tidak tahu cara
melakukannya.
Dalam hidup, sebagai seorang Muslim, barangkali
banyak juga hal sederhana yang menjadi ganjalan jika tidak kita ketahui
ilmunya. Betapa sering saya menyaksikan seseorang yang seharusnya bisa
mendapat pahala shalat jamaah, tidak bisa mendapatkannya hanya karena
tidak tahu. Dia datang terlambat dan mendapati imam sudah tasyahud
akhir. Akhirnya ia memilih shalat sendiri, padahal Rasulullah
memerintahkan agar kita mengikuti imam, pada gerakan apa pun kita
mendapatinya. Atau orang-orang yang seharusnya bisa shalat berjamaah,
tapi justru melakukannya secara sendiri-sendiri, padahal mereka ada di
tempat yang sama.
Pada kesempatan lain, sering saya jumpai para
penumpang kereta api tidak menjalankan shalat, hanya karena alasan
tidak tahu cara melakukannya dalam perjalanan semacam itu. Padahal ada
banyak kemudahan yang diberikan dalam kondisi darurat. Sementara di saat
yang sama, masih ada saja orang-orang yang memiliki semangat membara
justru jatuh dalam kesalahan, karena beramal tanpa didasari ilmu.
Misalnya, mereka yang melakukan shalat sunnah ba’da shalat Ashar.
Ketidaktahuan bukanlah sifat yang melekat secara permanen pada manusia.
Namun demikian, ada bentuk ketidaktahuan yang melekat karena
perbuatannya sendiri, yaitu karena kelalaian seseorang dalam
menghilangkannya dengan belajar. Maka belajar, mencari tahu, adalah
sebuah keutamaan, sehingga belajar menjadi perintah yang hukumnya wajib
bagi setiap muslim. Bahkan membaca yang merupakan jalan untuk belajar
menjadi wahyu pertama yang turun: Iqra’. Ya, membaca, membaca buku,
membaca peristiwa, dan membaca ilmu dari apa yang tersaji dalam
majelis-majelis pengetahuan.
Ketidaktahuan memang ditoleransi
dalam Islam, karena tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap
ilmu dan sarana mendapatkan pengetahuan. Tetapi bukan berarti bahwa
tidak menjadi masalah jika kita tidak tahu, apalagi tidak mau tahu
persoalan yang berkaitan dengan kewajiban fardhiyah kita. Karena jika
kita tidak mengetahui ilmunya, bagaimana mungkin kita bisa melakukan
kewajiban yang dibebankan kepada kita? Maka berlaku kaidah fikih, “Maa
laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” (jika suatu kewajiban tak
terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula
hukumnya). Dengan demikian, menuntut ilmu mengenai hal-hal yang terkait
kewajiban kita sehari-hari semacam shalat, puasa, halal-haram dan
lain-lain menjadi wajib adanya…
Mari sejenak kita simak pendapat para ulama mengenai ketidaktahuan yang dibiarkan ini.
Imam Suyuthi Rahimahullah berkata, “Setiap orang yang tidak mengetahui
mengenai sesuatu yang telah diharamkan dan diketahui oleh mayoritas
masyarakat, ia tidak dimaafkan, kecuali orang tersebut baru mengenal
Islam atau hidup di daerah terpencil yang sulit mengetahui hal tersebut”
(Al-Asybah wa an-Nazha’ir, h. 220).
Imam al-Muqarri
Rahimahullah mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan
kepada para ulama untuk menjelaskan hukum-hukum (kepada ahlinya). Maka,
tidaklah diterima kebodohan seseorang yang memungkinkan baginya untuk
mempelajarinya” (Al-Qawa’id, juz 2, h. 412).
Imam Ibnu Rajab
mengatakan, “Jika seseorang yang hidup di negara Islam dalam lingkungan
kaum muslimin berbuat zina dan ia mengaku tidak mengetahui bahwa zina
telah diharamkan, perkataannya (pengakuannya) tidak dapat diterima,
sebab kenyataannya ia telah mendustainya, meskipun pada dasarnya ia
tidak mengethui hal itu” (Al-Qawa’id, h. 343).
Nah, maka dari
itu, sudah saatnya kita lebih tekun belajar tentang agama kita, minimal
yang terkait dengan kewajiban-kewajiban individu kita. Agar tak lagi
lewat kesempatan kita beribadah, agar sesuatu yang sejatinya bernilai
ibadah tidak menjelma menjadi dosa atau bahkan ma’shiyat. Mulai saat
ini, meski sedikit-sedikit, pelajarilah agamamu, karena masa depan
akhiratmu ditentukan oleh iman dan amalan yang berlandaskan ilmu.
Wallahu a’lam.
Semoga Bermanfaat
Salam Santun Ukhuwah Karena_NYA
0 komentar:
Posting Komentar