Makna Bahasa
Kata ahl berasal dari kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl
artinya adalah famili, keluarga, kerabat. Ahl ar-rajul artinya
adalah istrinya, ahl ad-dâr artinya penduduk kampung, ahl al-'amr artinya
penguasa, ahl al-madzhab artinya orang-orang yang beragama dengan mazhab
tersebut, ahl al-wabar artinya penghuni kemah (pengembara), ahl al-madar
atau ahl al-hadhar artinya orang yang sudah tinggal menetap.[1]
Dari pengertian di
atas, kata ahl jika disambung dengan al-kitâb, tampaknya
yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang
beragama sesuai dengan al-Kitab. Dengan
ungkapan lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab.
Makna Istilah
Al-Quran telah
mengecualikan kaum Muslim dari sebutan Ahlul Kitab meskipun kaum Muslim
beragama sesuai dengan kitab samawi, yaitu al-Quran. Berikutnya, sebutan Ahlul Kitab hanya
menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani, tidak mencakup selain keduanya.
Kata Ahlul Kitab
dinyatakan di dalam 31 ayat al-Quran.[2] Al-Quran
menggunakan kata Ahl al-Kitâb hanya dengan penunjukkan kepada dua
golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Terbukti bahwa semua ayat Ahl al-Kitâb menunjuk kepada dua golongan
tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari
penafsiran para mufasir terhadap ayat-ayat tersebut, juga dari sebab-sebab
turunnya.
Pada masa Rasulullah
saw. dan masa sahabat terma Ahl al-Kitâb selalu digunakan hanya untuk
menunjuk dua komunitas pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Selain dua komunitas tersebut tidak disebut
sebagai Ahl al-Kitâb.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa Ahl al-Kitâb hanya Yahudi dan Nasrani dari Bani
Israel, sedangkan di luar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani,
tidak termasuk Ahl al-kitâb.
Mereka berargumentasi bahwa Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. hanya diutus
untuk kaumnya, yaitu Bani Israel. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa obyek
seruan Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. yang diutus hanya Bani Israel. Akan
tetapi, hal itu tidak menunjukkan tidak bolehnya orang di luar Bani Israel
mengikuti risalah Taurat dan Injil; juga tidak menunjukkan bahwa pengikut
Taurat dan Injil selain Bani Israel tidak termasuk Ahl al-Kitâb. Apalagi
bahwa orang-orang Arab (bukan keturunan Bani Israel) pada masa Nabi saw. tetap
dimasukkan sebagai bagian Ahl al-Kitâb, di samping karena sebutan Ahl al-Kitâb adalah
umum untuk semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani.
Imam ath-Thabari,
ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 64, menyatakan, "Ahl al-Kitâb bersifat
umum mencakup seluruh pengikut Taurat dan pengikut Injil. Yang demikian sudah
diketahui bersama, yakni bahwa yang dimaksud dengn Ahl al-Kitâb adalah
dua golongan itu seluruhnya. Hal senada juga dinyatakan oleh asy-Syaukani dalam
tafsir Fath al-Qadîr." [3]
Imam Ibn Katsir,
ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan, "Seruan ini bersifat umum
mencakup seluruh Ahl al-Kitâb, yaitu Yahudi dan Nasrani, serta
siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka."[4]
Artinya, setiap orang
yang menganut agama Yahudi atau Nasrani, sekalipun bukan keturunan Bani Israel,
adalah bagian dari Ahl al-Kitâb.
Ada juga sebagian
kaum Muslim yang beranggapan bahwa sekarang Ahl al-Kitâb sudah tidak
ada. Artinya, orang Yahudi dan Nasrani sekarang bukanlah Ahl al-Kitâb. Mereka berargumentasi, Ahl al-Kitâb adalah
orang Yahudi dan Nasrani pada masa Rasulullah saw., atau menjalankan ajaran
Taurat dan Injil yang sebenarnya secara lurus.
Pendapat tersebut
kurang tepat. Sebab, penyimpangan orang
Yahudi dan Nashrani juga sudah terjadi pada masa Rasul saw. bahkan sudah
berlangsung sebelum masa beliau. Al-Quran dengan jelas menyatakan bahwa orang
Nasrani pada waktu itu sudah meyakini ide trinitas,[5] meyakini bahwa
al-Masih Putra Maryam adalah Allah,[6] meyakini al-Masih
adalah anak Allah,[7]
mennyekutukan Allah dengan menjadikan rahib-rahib dan orang-orang besar mereka
sebagai tuhan selain Allah (orang Yahudi juga berperilaku sama),[8]
dan penyimpangan Nasrani lainnya masih banyak.
Sedangkan orang Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah,[9]
menutupi kebenaran dengan memalsukan isi Taurat,[10] dan banyak
penyimpangan lainnya.
Artinya, orang Yahudi
dan Nasrani memang sudah menyimpang sejak masa Rasul saw. Oleh karenanya,
mereka dengan jelas digolongkan sebagai orang kafir.[11] Adapun sekarang, penyimpangan mereka
bertambah lebih banyak lagi. Namun,
status mereka adalah sama dengan pada masa Rasul saw., yaitu termasuk orang
kafir.
Ada pendapat nyleneh
yang dikembangkan oleh kalangan Islam Liberal. Menurut mereka, Ahl al-Kitâb bukan
hanya orang Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup semua penganut agama yang
memiliki kitab suci termasuk Hindu, Budha, Konghuchu, Sinto, dll. Pendapat ini
adalah pendapat batil.
Rasul saw. dan para
sahabat pada waktu itu mengetahui tentang orang Majusi dan agama mereka. Namun, orang Majusi tidak mereka sebut
sebagai Ahl al-Kitâb. Imam Malik bin Anas meriwayatkan bahwa Umar pernah menyebut Majusi lalu berkata,
"Saya tidak tahu bagaimana memperlakukan urusan mereka."
Kenyataan bahwa
mereka bukan Ahlul Kitab juga diperkuat oleh fakta bahwa hukum tentang
Ahlul Kitab tidak diterapkan semua atas mereka. Hasan bin Muhammad bin ’Ali bin Abi Thalib
menuturkan:
اَ
Rasulullah saw.
menulis surat kepada orang-orang Majusi Hajar. Beliau menyeru mereka pada
Islam. Siapa saja yang masuk Islam diterima, sedangkan yang tidak, dikenakan
atas mereka kewajiban membayar jizyah, hanya saja sembelihan mereka tidak boleh
dimakan dan wanita mereka tidak boleh dinikahi (HR al-Baihaqi).[12]
Hadis ini menjelaskan
perlakuan seperti terhadap Ahlul Kitab dalam hadis Imam Malik di atas, yaitu
bahwa perlakuan sama itu tidak dalam semua hal, tetapi hanya dalam masalah jizyah.
Artinya, orang Majusi juga dikenai kewajiban membayar jizyah, tetapi mereka
termasuk orang-orang musyrik.
Walhasil, Ahlul Kitab
secara syar‘i hanyalah orang-orang beragama Yahudi dan Nasrani baik dulu
pada masa Rasul saw. dan para sahabat ataupun masa sekarang dan yang akan
datang.
Terhadap Ahlul Kitab,
Islam memberikan hukum yang berbeda dengan kaum musyrik: sembelihan Ahlul Kitab
boleh dimakan dan kaum wanitanya yang muhshanat (yang senantiasa
menjaga diri dan kesuciannya) boleh dinikahi, yang menurut banyak ulama harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. []
[1] Munawir, Kamus
al-Munawir hlm. 46, Pustaka Progressif; Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab 1/28;
al-Manawi, at-Ta‘ârif 1/105; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, 1/13.
[2] QS 02: 105, 109;
QS 03: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; QS 04: 153, 159, 171;
QS 05: 15, 19, 59, 65, 68, 77; QS 29: 46; QS 33: 26; QS 57: 29; QS 59: 2, 11; QS
98: 1, 6.
[3] Ath-Thabari, Tafsîr
ath-Thabari, 3/303, Dar al-Fikr, Beirut; Asy-Syaukani, Fath
al-Qadîr, 1/348. Dar al-Fikr, Beirut.
[4] Ibn Katsir, Tafsîr
Ibn Katsîr, 1/372. Dar al-Fikr, Beirut.
[5] Lihat: QS al-Maidah
[05]: 73, ide trinitas sendiri dijadikan doktrin resmi gereja dalam Konferensi
Nicea pada abad ke-2 M.
[6] Lihat: QS al-Maidah
[05]: 17.
[7] Lihat: QS at-Taubah
[09]: 30.
[8] Lihat: QS Ali
Imran [03]: 64.
[9] Lihat: QS at-Taubah
[09]: 30.
[10] Lihat: QS Ali Imran
[03]: 71 dan 78. Lihat juga catatan kaki
al-Quran dan terjemahan maknanya oleh Depag, yang mengisyaratkan bahwa orang
Nasrani juga melakukan hal sama.
[11] Sebagai tambahan,
lihat: QS al-Baqarah [02]: 105; al-Hasyr [59]: 2, 11; al-Bayyinah [98] 1,6
[12] Al-Qadhi
Taqiyyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, hlm. 108, Hizbut Tahrir cet.
4 (Mu’tamadah). 2003.
0 komentar:
Posting Komentar