Syeikh Abul Qasim
Al-Qusyairy
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak
mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r Bukhari Musliln dan Abu
Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya 'Uqbah bin Amir bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah keselamatan itu?"
Beliau menjawab, "Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan
menangislah untuk dosa dosamu. " (H.r. Tirmidzi).
Syeikh ad-Daqqaq berkata, "Diam mencerminkan rasa aman dan merupakan
aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya apabila orang
terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya
hukum syara', perintah-perintah dan larangan larangan harus dipatuhi di
dalam sikap diam. Diam pada waktu yang tepat adalah termasuk sifat para
tokoh. Begitupun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia."
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Barangsiapa menahan
diri untuk mengucapkan kebenaran adalah setan yang bisu."
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi,
karena Allah swt. berfirman, "Dan apabila dibacakan Al Quran, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat." (Q.s. AI Nraf. 204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin
dengan Rasul saw. Firman Nya, "... maka tatkala mereka menghadiri
pembacaan(nya) lalu mereka berkata, 'Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)'." (Q.s. Al Ahqaf 29).
Allah swt. berfirman, "... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan
yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja."
(Q.s. Thaaha: 108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga dirinya dari
kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut kepada raja yang
menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair
berikut ini:
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini:
Betapa banyak kata-kata yang ingin kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini:
Kulihat bicara menghiasi oranq muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang.
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa diam.
Ada dua jenis diam: Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang tawakal
adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang orang 'arif,
hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat keselarasan.
Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus perbuatannya secara
kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh
Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang disebabkan oleh
pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu tiba-tiba
tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan maupun
ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai
baik pengetahuan maupun penginderaan. Allah swt. berfirman:
"(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul lalu Allah
bertanya (kepada mereka), Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu? 'Para
Rasul menjawab, "Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu). "'
(Q.s. Al Maidah: 109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui bahaya yang
terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu berbicara,
memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih
popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka
menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini
merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai
salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha'y berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutuskan
untuk menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah seorang
muridnya. la duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan komentar
berkenaan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi
kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia lalu
tinggal di rumah dan memutuskan ber'uzlah.
Bisyr ibnul Harits mengajarkan, “Apabila berbicara menyenangkan Anda,
diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda, berbicaralah."
Sahl bin Abdullah menegaskan, "Diam seorang hamba tidak akan sempurna,
kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya."
Abu Bakr al-Farisy mengatakan, "Apabila tanah kelahiran seorang hamba
bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun
tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi
meliputi hati dan semua anggota badan."
Salah seorang Sufi berkata, "Orang yang tidak menggunakan diam ketika
berbicara, adalah tolol."
Mumsyad ad-Dinawary berkata, "Orang-orang bijak mewarisi kebijaksanaan
dengan diam dan kontemplasi."
Kekita Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya,
"Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau
dan masa depan." Dikatakannya pula, "Apabila seorang hamba
berbicara hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan
keharusan keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam."
Mu'adz bin Jabal r.a. berkata, "Kurangilah berbicara berlebihan dengan
sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan
hatimu akan (dapat) melihat Nya."
Dzun Nuun al-Mishry ditanya, "Di antara manusia, siapakah pelindung
terbaik bagi hatinya?" Dijawab Dzun Nuun, "Yaitu orang yang
paling mampu menguasai lidahnya. "
Ibnu Mas'ud berkata, "Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama
lama lebih dari lidah."
Ali bin Bukkar mencatat, "Allah menjadikan dua pintu bagi segala
sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan
dua baris gigi."
Konon Abu Bakr ash Shiddiq r.a. biasa mengulum sebutir batu selama beberapa
tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika
sebuah suara menyeru kepadanya, "Engkau berbicara, dan bicaramu sangat
bagus. Sekarang tinggallah bagimu untuk berdiarn, sehingga engkau menjadi
bagus!" Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampal wafat
menjemputnya.
Manakala asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya dan
mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan mengatakan,
"Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman
mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa apa)." (Q.s. An Naml:
85). Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada
kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnus Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu'adz
berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetap Syah tidak menghadiri
majelisnya. Ketika ditanya alasannya, menjawab, "Sudah sepatutnya
begini." Orang orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari
al-Kirmany datang ke majells Yahya dan duduk di pojok di manaYahya tidak
akan dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, namun secara tiba-tiba ia
diam. Kemudian Yahya mengumumkan, 'Ada seseorang yang dapat berbicara lebih
baik dariku," dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka
al-Kirmany berkata, "Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah
lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini."
Terkadang seorang pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan
tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang yang
hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah
lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar
pembicaraan itu. Sehingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar yang
bukan kompetennya.
Para syeikh yang ahli mengenal tharikat ini telah menjelaskan,
"Terkadang alasan diamnya seseorang adalah karena ada jin yang hadir,
yang bukan kompetennya. Karena majelis Para Sufi tidak pernah sepi dari
kehadiran sekelompok jin."
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq menuturkan, "Suatu ketika aku jatuh sakit di
Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara
menyeru kepadaku, 'Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok
jin yang menghadiri majelis majelismu dan mereka memperoleh manfaat dari
ceramah ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di
tempatmu'!"
Salah seorang ahli hikmah berkata, "Manusia diciptakan hanya dengan
satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar
dan mau melihat lebih banyak dari berbicara."
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketika ia duduk, orang-orang
mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata,
"Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah
makan daging lebih dahulu. " Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah
swt.:
"Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu." (Q.s. Al
Hujurat: 12).
Salah scorang Sufi berkata, "Diam adalah bahasa ketabahan."
Sebagian mereka mengatakan, "Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar
berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam rnenguatkanmu."
Dikatakan, "Menjaga lisan adalah lewat diamnya." Ada yang
mengatakan, "Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat akan
menyerangmu."
Abu Hafs ditanya, "Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali,
diam atau berbicara?" Ia menjawab, "Jika si pembicara mengetahui
ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila
mungkin selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui
efek negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi
waktu dua kali usia Nabi Nuh as. agar dapat berbicara (agar bisa menunjukan
kebaikan)."
Dikatakan, "Diam bagi kaum awam dengan lidahnya, diam bagi kaum yang
ma'rifat kepada Allah swt. dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta
(muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati
sanubari mereka."
Sebagian sufi mengisahkan, 'Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun,
sehingga aku tidak mendengar ucapanku kecuali dari kalbuku. Kemudian aku
mengekang kalbuku tigapuluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali
dari ucapanku."
Salah seorang Sufi mengatakan, "jika lidah Anda didiamkan, maka belum
tentu Anda telah diselamatkan dari kata kata hati Anda. Jika Anda telah
menjadi batang tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari
kata kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan Jika Anda berjuang dengan susah
payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda sebab ia adalah
tempat tersimpannya batin."
Dikatakan, "Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya."
Dikatakan juga, "jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan
binasa, dan jika seorang 'arif berdiam diri, ia akan berkuasa."
Al-Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Barangsiapa memperhitungkan
kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali
apa yang berarti (menurut kebutuhannya)."
---(ooo)---
|
0 komentar:
Posting Komentar